KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat
Allah Swt, atas segala limpahan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penyusunan
makalah dengan judul “Paradigma Absolutisme vs kontruktivisme” dapat
diselesaikan dengan baik sesuai dengan waktu yang diharpkan.
Penyusunan makalah ini dapat
diselesaikan tak lain karena atas dasar kerja sama antar anggota kelompok 6
yang telah meluangkan waktunya dan mencurahkan ide demi kesempurnaan makalah
ini.
Kendari,
29 Maret 2015
Penyusun
kelompok 6
DAFTAR
ISI
DAFTAR ISI
----------------------------------------------------------------------------------------- I
KATA PENGANTAR
------------------------------------------------------------------------------ II
DAFTAR ISI
----------------------------------------------------------------------------------------- III
BAB I
-------------------------------------------------------------------------------------------------- 1
PENDAHULUAN------------------------------------------------------------------------------------ 1
A. LATAR
BELAKANG --------------------------------------------------------------------- 1
B. RUMUSAN
MASALAH ------------------------------------------------------------------ 1
C. TUJUAN
------------------------------------------------------------------------------------- 1
BAB II
------------------------------------------------------------------------------------------------- 2
PEMBAHASAN
------------------------------------------------------------------------------------- 2
A. PARADIGMA ABSOLITISME VS KONTUKTIVISME
---------------------------- 2
1. BELAJAR
DALAM PARADIGMA ABSOLUTISME --------------------- 2
2. BELAJAR DALAM PARADIGMA KONTRUKTIVISME
---------------- 3
3. MENGAJAR DALAM PARADIGMA ABSOLUTISME
------------------- 4
4. MENGAJAR DALAM PARADIGMA KONTRUKTIVISME
------------- 5
BAB
IV ------------------------------------------------------------------------------------------------ 7
PENUTUP
-------------------------------------------------------------------------------------------- 7
A. PENUTUP------------------------------------------------------------------------------------ 7
B. SARAN---------------------------------------------------------------------------------------- 7
DAFTAR
PUSTAKA-------------------------------------------------------------------------------- 8
BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Anda telah diajak menelusuri empat
tradisi psikologi kognitif dalam unit 2 yang berpengaruh pada pembelajaran IPA.
Keempat tradisi itu adalah behaviourisme, developmental, information
proccessing dan kontruktivisme. Dilihat dari dimensi kurikulumnya keempat
tradisi ini dapat digolongkan ke dalam dua paradigma, yaitu paradigma
absolutisme dan paradigma konstruktivisme (Leo Sutrisno, 2001).
Dalam paradigma absolutisme, materi
bahan ajar disusun ’dari atas’, oleh para ahli, baik ahli IPA maupun ahli
pendidikan IPA. Karena disusun dari atas, materi ini tidak dapat dipertanyakan.
Seperti itulah yang harus dipelajari. Pedagoginya berbentuk alih pengetahuan.
Para guru berfungsi sebagai agen alih pengetahuan. Dengan menganut teori tabula
rasa, siswa dianggap kertas putih yang siap ditulisi oleh para guru apapun isi
dan betuknya. Evaluasi hasil belajar dalam paradigma ini adalah reproduksi
pengetahuan, seberapa banyak siswa menguasai pengetahuan yang telah diberikan.
Pembelajaran dengan paradigma absolutisme adalah ’mengisi botol kosong’.
B. Rumusan masalah
1. Apa
itu belajar dalam pandangan absolutisme
2. Apa
itu belajar dalam pandangan kontuktivisme
3. Apa
itu belajar dalam pandangan absolutisme
4. Apa
itu belajar dalam pandangan absolutisme
C. Tujuan
1. Untuk
mengetahui belajar dalam pandangan absolutisme
2. Untuk
mengetahui belajar dalam pandangan kontuktivisme
3. Untuk
mengetahui belajar dalam pandangan absolutisme
4. Untuk
mengetahui belajar dalam pandangan absolutisme
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Paradigma absolutisme vs
konstruktivisme
Mempelajari kekhasan dari kedua
paradigma yang telah dibahas sebelumnya, tradisi behaviourisme dapat
digolongkan dalam paradigma yang mana? Tentu, dengan ’mudah’ Anda dapat
menentukan dalam paradigma absolutisme. Bagaimana halnya dengan tradisi developmental
dan tradisi information proccessing? Kedua tradisi ini tidak memberikan
penjelasan secara eksplisit tentang belajar. Tradisi developmental memberi
saran kepada para pendidik agar memperhatikan perkembangan intelektual siswa
dalam setiap kegiatan pembelajaran, Sedangkan tradisi information proccessing
hanya memberitahukan bahwa kerja otak manusia dalam mengolah informasi
mirip dengan kerja sebuah komputer. Dengan demikian, kedua tradisi ini tidak
dapat digolongkan pada paradigma yang mana.. Marilah kita coba mencermati
tentang belajar IPA dalam kedua paradigma.
1.
Belajar
dalam paradigma absolutisme
Absolutisme berasal dari kata absolute yang artinya
mutlak merupakan prinsip yang percaya bahwa segala sesuatu yang ada itu
memiliki sifat mutlak dan universal. Dengan ini berarti absolutisme tidak ada
tawar menawar, dalam prinsip ini juga tidak bergantung pada adanya kondisi yang
membuat prinsip moral dapat berubah..
Dalam
paradigma absolutisme, belajar didefinisikan sebagai perubahan tingkah laku
yang mencerminkan dari keadaan belum tahu ke keadaan sudah tahu. contoh pada
pembelajaanr IPA. Para siswa akan belajar tentang termometer-alat pengukur
temperatur.. Misalnya, melihat termometer terletak di atas meja, siswa tersebut
acuh saja. Atau, mungkin sebaliknya, siswa terheran-heran, berdesakkan ingin
melihat dan memegangi benda itu. Mereka saling berebut seperti layaknya main
bola. Setelah itu, mereka mengikuti pembelajaran selama dua kali pertemuan
tentang panas, para siswa sudah tidak terheran-heran ketika melihat termometer,
tidak berebutan seperti main bola lagi karena mereka tahu termometer mudah
pecah. Bahkan ada siswa yang lain mungkin ketika mendangar perkataan orang
bahwa hari ini sangat panas, langsung bertanya: ”Berapa derajad, suhu hari
ini?” dsb. Hal-hal seperti itu menunjukkan tingkah laku siswa yang telah
memiliki pengetahuan tentang termometer. Jadi, setelah proses pembelajaran
tentang rmometer, tingkah laku para siswa telah berubah. Dengan pembelajaran,
tingkah laku siswa diubah. Bentuk perubahan dan rancangan pembelajarannya
disusun oleh para ahli dalam bentuk kurikulum.
Dalam paradigma absolutisme,
kurikulum pendidikan IPA dibuat secara sentralistik (di tingkat pusat). Pada
kurikulum 1975 dan 1994, misalnya, Anda akan temukan rumusan-rumusan: tujuan
kurikuler, tujuan instruksional, pokok bahasan, sub pokok bahasan, kelas,
semester, sumber bahan, dan bahan ajaran. Anda, sebagai guru tinggal menetapkan
tujuan khusus dan membuat rencana kegiatan selama di depan kelas serta
mengajarkannya dan dilengkapi dengan sumber/bahan yang bernama buku paket.
Siswa yang belajar tinggal datang ke
sekolah, duduk, menyimak, mendengarkan, mencatat, dan mengulang kembali di
rumah serta menghapalkannya untuk menghadapi tes hasil belajar atau ulangan.
Tes hasil belajar, ulangan, ujian bersifat reproduksi pengetahuan artinya
seberapa luas dan dalam bahan/materi yang telah diajarkan dan dikuasai siswa.
Sebagian dari Anda, tentu telah mengalami pembelajaran yang seperti ini baik di
tingkat sekolah dasar, sekolah lanjutan atau bahkan di tingkat perguruan tinggi.
2.
Belajar
Dalam Paradigma kontruktivisme
Menurut pandangan konstruktivisme belajar adalah
penyusunan pengetahuan dari pengalaman konkret, aktivitas kolaboratif dan
refleksi serta interpretasi. Dalam paradigma absolutisme, siswa
dianggap tidak memiliki pengetahuan apa pun ketika berada di awal proses
pembelajaran. Ibarat sebuah botol kosong. Sebaliknya, dalam paradigma
konstruktivisme, siswa diakui telah memiliki pengetahuan. Pengetahuan yang
dimiliki sebelum mengikuti proses kegiatan pembelajaran yang sesungguhnya
sering diberi label pengetahun awal siswa. Pengetahuan awal ini diperolehnya
dari sumber-sumber belajar yang tersedia di luar bangku sekolah atau dari
pembelajaran sebelumnya. Seperti juga Anda saat ini, Anda telah memiliki
pengetahuan pembelajaran IPA. Pengetahuan itu Anda peroleh dari berbagai
sumber, termasuk ketika Anda kuliah di program yang lain. Pendek kata, Anda
tidak berawal sebagai botol kosong. Anda telah memiliki konsepsi awal tentang
pembelajaran IPA.
Contoh,
seseorang yang berasal dari keluarga Jawa tinggal di pedalaman Kalimantan
sebagai guru SD. Setiap kali berceritera tentang Jawa kepada anaknya, selalu
memasukkan topik kereta api yang berjalan di atas rel tidak di jalan raya atau
di sungai seperti yang biasa dilihat di Kalimantan. Cerita itu diulang-ulang
hingga anak tersebut lulus SD. Tampaknya, ia sangat paham tentang
per-keretaapi-an. Setelah pembagian ijasah, si anak diajak pulang ke Jawa
menengok kakek-neneknya sambil mencari SMP di sana. Dari Pontianak ke Jakarta
naik pesawat terbang. Dari Jakarta ke Yogya naik kereta api, berangkat dari
stasiun kereta api Gambir (Jakarta) dan turun di statsiun kereta api Tugu di
Yogya. Karena datang lebih awal, maka mereka duduk-duduk di peron..Tempat duduk
itu sekitar dua meter dari rel kereta api. Belum banyak orang di sana. Apa yang
terjadi ketika ada kereta api lewat di depan si anak pertama kali? Ia lari
terbirit-birit ketakutan. Bapak ibunya keheranan. Sebelumnya, mereka sungguh
yakin bahwa anaknya telah mengerti dengan tuntas tentang perkereta-apian sesuai
dengan yang setiap kali diceritakan kepadanya di Kalimantan. Anak tersebut
belum memiliki pengalaman.
3.
Mengajar
Dalam Paradigma Absolutisme
Para
ahli menyimpan ilmu pengetahuan yang disusunya dalam suatu ’tanki’ ilmu
pengtahuan. Tanki ini berupa buku teks, makalah, aritikel, laporan penelitian
dsb. Oleh pendidik dituliskan sebagi buku ajar. Para guru mengolahnya dan
menyampaikannya kepada siswa. Guru mengatur seberapa luas dan seberapa dalam
pengethuan yang harus diteruskan kepada siswa. Guru sebagai agen alih
pengetahuan (Lihat UU Guru dan Dosen). Guru berfungsi sebagai ’pemutar keran’
yang menentukan seberapa banyak air yang dikucurkan. Karena sebagai pemutar
keran maka guru tidak ’punya’ hak untuk menetapkan ciri-ciri pengetahuan yang
disampaikan. Siswa, sebagai ’ember’ penampung kucuran pengetahuan dari keran,
menerima begitu saja semua pengetahuan yang dikucurkan oleh gurunya. Siswa
tidak perlu merasakan, mengalami, mencoba, mempraktekkan diri, sebagai seorang
pencari kebenaran. Akibat lebih jauh, siswa merasa bosan belajar IPA. IPA
menjadi salah satu mata pelajaran yang kurang menarik. Bahkan, untuk sejumlah
siswa, IPA merupakan salah satu mata pelajaran yang sukar dipelajari, terutama
mata pelajaaran fisika dan kimia.
Pedek kata, mengajar dalam paradigma
absolutisme dapat diibaratkan sebagai kegiatan ’mengisi botol kosong’.
Cara seperti ini tidak akan membuat siswa sekolah dasar menggemari IPA. IPA
tidak bermakna bagi siswa. Padahal, kurikulum 2006 ini megamanatkan bahwa Mata
Pelajaran IPA di SD/MI bertujuan agar peserta didik memiliki kemampuan sebagai
berikut.
a. Mengembangkan
pengetahuan dan pemahaman konsep-konsep IPA yang bermanfaat dan dapat
diterapkan dalam kehidupan sehari-hari
b. Mengembangkan
rasa ingin tahu, sikap positip dan kesadaran tentang adanya hubungan yang
saling mempengaruhi antara IPA, lingkungan, teknologi dan masyarakat
c. Mengembangkan
keterampilan proses untuk menyelidiki alam sekitar, memecahkan masalah dan
membuat keputusan
d. Meningkatkan
kesadaran untuk berperan serta dalam memelihara, menjaga dan melestarikan
lingkungan alam
4.
Mengajar
dalam paradigma kontruktivisme
Dalam paradigma kontruktivisme, mengajar adalah menata lingkungan agar sibelajar
termotivasi dalam menggali makna serta menghargai ketidakmenentuan. Dengan
demikian maka peserta didik akan memiliki pemahaman yang berbeda terhadap
pengetahuan tergantung pada pengalamannya,dan perspektif yang dipakai dalam
menginterpresiikannya, jadi guru diharapakan dapat mendorong munculnya diskusi
dalam rangka memberi kesempatan siswa untuk mengeksplorasi pikiran atau
aktivitas dan keterampilan berpikir kritis. Selainn itu guru diharapkan dapat
mengkaitkan informasi baru kepengalaman pribadi atau pengetahuan yang telah
dimiliki peserta didik.sedangkan belajar dipahami sebagai
proses aktif siswa untuk mengkonstruksi pengetahuan dengan cara mebuat ’link’
antara pengetahuan yang telah dimiliki dengan pengetahuan yang sedang
dipelajari melalui interaksi dengan yang lain. Pengertian belajar seperti ini,
paling tidak mengandung tiga hal. Pertama adalah proses aktif untuk
mengkonstruksi pengethuan. Kedua adalah membuat ’link’ antara pengetahuan yang
telah dimiliki dengan pengetahuan yang sedang dipelajari. Ketiga adalah
interaksi siswa dengan yang lain.
Walaupun penerapan
tradisi konstruktivis itu berbeda-beda, namun ada hal-hal yang sama. Ishii
(2003) menyajikan kesimpulan Ernest tentang implikasi pedagogis dari tradisi
konstruktivismes.
·
Peka dan perhatian terhadap pengetahuan awal
siswa yang dibawa sebelum mengikuti pelajaran formal
·
Penggunaan konflik kognitif untuk meremidi
miskonsepsi. Tampak seperti membiarkan siswa mengalami kebingungan dalam
berpikir, dan dari sana mereka akan menngembangan pemahamannya sendiri, atau
paling tidak mencari jalan ke luar dari kebingungan.
·
Perhatian terhadap ketakognisi dan strtegi self-regulation.
Ini merupakan kosekuensi dari mengalami konflik kognitif siswa muali berpikir
tentang cara berpikir yang digunakannya, dan menjadi bertanggung jawab atas
belajar mereka sendiri.
·
Penggunaan berbagai macam representasi. Berbagai
macam representasi mengahasilkan banyak ‘lorong’ menuju pengetahuan awal siswa.
·
Kesadaran bahwa tujuan siswa belajar itu
penting. Di kelas bukan tujuan guru tetapi tujuan siswa, mereka ingin
mengetahui dan tahu manfaatnya.
·
Kesadaran akan konteks sosial. Berbagai jenis
pengetahuan muncul dalam berbagai macam kelompok sosial. Ada pengetahuan para
pedagang kaki lima, ada pengetahuan para pejabat, ada pengetahuan formal di
sekolah dsb.
BAB
III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Dalam
paradigma absolutisme, belajar didefinisikan sebagai perubahan tingkah laku
yang mencerminkan dari keadaan belum tahu ke keadaan sudah tahu. Sedangkan
dalam paradigma konstruktivisme, siswa
diakui telah memiliki pengetahuan.
B. SARAN
Makalah
“paradigma absolutisme vs konturktivisme”
telah disusun dengan baik oleh kelompok penyusun. Namun penyusun makalah ini
masih jauh dari kata sempurna maka oleh sebab itu di harapkan partisipasi dalam
bentuk pertanyaan atau masukan yang bersifat membangun demi kesempurnaan
makalah ini.
DAFTAR
PUSTAKA
Sutrisno, Leo dkk. Hakekat Pembelajaran IPA