Senin, 11 Mei 2015

PENGERTIAN MENULIS KREATIF ADALAH



Apa yang dimaksud dengan menulis kreatif
Jawab:
Azmah Nordin mengemukakan Penulisan kreatif adalah apa saja, di mana penulisnya menggambarkan buah fikir, gejolak perasaan, daya imaginasi dan daya kreaviti yang tentunya unik apabila penulis menceritakan dari pengalamannya yg tersendiri - bukan sebaliknya hanya melaporkan peristiwa ataupun berita.
Menurut Renata Pertiwi Isadi Penulis yang kreatif adalah orang yang dapat mendeskripsikan apa yang ada dalam pikirannya secara utuh ke dalam bentuk tulisan.
Faiz Syauqy  mengemukakan Tulisan kreatif pada umumnya lebih santai dalam gaya penulisan, tidak terkesan kaku, dan pembaca seperti sedang diajak berbicara oleh penulis. Konten yang ditulis pun cenderung tentang hal-hal kehidupan di sekitar kita, misalnya feature tentang seorang pemulung yang mempunyai anak bergelar Doktor, atau tulisan deskriptif tentang pemandangan indah yang terletak di dataran tinggi Temanggung, atau yang lainnya.

Minggu, 10 Mei 2015

DESA BONELALO KELURAHAN KAMARU KECAMATAN LASALIMU KABUPATEN BUTON

Berikut ini adalah gambar desa Bonelalo Kec.Lasalimu Kelurahan Kamaru Kab.Buton. gambar ini diambil sudah cukup lama skitar tahun 2010 shingga jangan heran kualitas gamburnya masi buram. yah di maklumi saja.



2 gambar pertama adalah Kampebuni yg dulu 
dijadikan tempat e..e daerah setempat.tapi itu dulu.
 nda tau kalau sekarang. indah bukan?
gambar diatas adalah salah satu ruma warga yang letak dan
 bentuknya memiliki nilai tersendiri. dan perlu diketahui
 juga disamping ruma itu adalah tanggul yang dibanya laut.
 indah bukan!
kampung tira-tira yang berhadapan dengan bonelalo
deretan rumah saya. terlihat gersang karena musim keras ombak jadi sampah yang berserakah dilautan terhampar di depan rumah. tapi aslinya indah kok.
laut surut depan rumah area tanjung

tanggul area tanjung


cukup ini dulu informasinya nanti dilanjutkan pada tulisan berikutnya yang masih banyak keunikan di dalamnya.

Sabtu, 09 Mei 2015

MAKALAH PARADIGMA ABSOLUTISME VS KONTRUKTIVISME



KATA PENGANTAR
            Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah Swt, atas segala limpahan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penyusunan makalah dengan judul “Paradigma Absolutisme vs kontruktivisme” dapat diselesaikan dengan baik sesuai dengan waktu yang diharpkan.
            Penyusunan makalah ini dapat diselesaikan tak lain karena atas dasar kerja sama antar anggota kelompok 6 yang telah meluangkan waktunya dan mencurahkan ide demi kesempurnaan makalah ini.

Kendari, 29 Maret 2015

Penyusun kelompok 6




DAFTAR ISI
DAFTAR ISI -----------------------------------------------------------------------------------------         I
KATA PENGANTAR ------------------------------------------------------------------------------         II
DAFTAR ISI -----------------------------------------------------------------------------------------         III
BAB I --------------------------------------------------------------------------------------------------          1
PENDAHULUAN------------------------------------------------------------------------------------        1
A.    LATAR BELAKANG ---------------------------------------------------------------------        1
B.     RUMUSAN MASALAH ------------------------------------------------------------------       1
C.     TUJUAN -------------------------------------------------------------------------------------         1
BAB II -------------------------------------------------------------------------------------------------         2
PEMBAHASAN -------------------------------------------------------------------------------------         2
A.    PARADIGMA ABSOLITISME VS KONTUKTIVISME ----------------------------  2
1.      BELAJAR DALAM PARADIGMA ABSOLUTISME  ---------------------  2
2.      BELAJAR DALAM PARADIGMA KONTRUKTIVISME ----------------  3
3.      MENGAJAR DALAM PARADIGMA ABSOLUTISME -------------------  4
4.      MENGAJAR DALAM PARADIGMA KONTRUKTIVISME ------------- 5
BAB IV ------------------------------------------------------------------------------------------------         7
PENUTUP --------------------------------------------------------------------------------------------          7
A.    PENUTUP------------------------------------------------------------------------------------         7
B.     SARAN----------------------------------------------------------------------------------------        7
DAFTAR PUSTAKA--------------------------------------------------------------------------------        8
           


BAB I
PENDAHULUAN
A.  Latar Belakang
            Anda telah diajak menelusuri empat tradisi psikologi kognitif dalam unit 2 yang berpengaruh pada pembelajaran IPA. Keempat tradisi itu adalah behaviourisme, developmental, information proccessing dan kontruktivisme. Dilihat dari dimensi kurikulumnya keempat tradisi ini dapat digolongkan ke dalam dua paradigma, yaitu paradigma absolutisme dan paradigma konstruktivisme (Leo Sutrisno, 2001).
            Dalam paradigma absolutisme, materi bahan ajar disusun ’dari atas’, oleh para ahli, baik ahli IPA maupun ahli pendidikan IPA. Karena disusun dari atas, materi ini tidak dapat dipertanyakan. Seperti itulah yang harus dipelajari. Pedagoginya berbentuk alih pengetahuan. Para guru berfungsi sebagai agen alih pengetahuan. Dengan menganut teori tabula rasa, siswa dianggap kertas putih yang siap ditulisi oleh para guru apapun isi dan betuknya. Evaluasi hasil belajar dalam paradigma ini adalah reproduksi pengetahuan, seberapa banyak siswa menguasai pengetahuan yang telah diberikan. Pembelajaran dengan paradigma absolutisme adalah ’mengisi botol kosong’.
B.  Rumusan masalah
1.      Apa itu belajar dalam pandangan absolutisme
2.      Apa itu belajar dalam pandangan kontuktivisme
3.      Apa itu belajar dalam pandangan absolutisme
4.      Apa itu belajar dalam pandangan absolutisme
C.  Tujuan
1.    Untuk mengetahui belajar dalam pandangan absolutisme
2.    Untuk mengetahui belajar dalam pandangan kontuktivisme
3.    Untuk mengetahui belajar dalam pandangan absolutisme
4.    Untuk mengetahui belajar dalam pandangan absolutisme


BAB II
PEMBAHASAN
A.    Paradigma absolutisme vs konstruktivisme
            Mempelajari kekhasan dari kedua paradigma yang telah dibahas sebelumnya, tradisi behaviourisme dapat digolongkan dalam paradigma yang mana? Tentu, dengan ’mudah’ Anda dapat menentukan dalam paradigma absolutisme. Bagaimana halnya dengan tradisi developmental dan tradisi information proccessing? Kedua tradisi ini tidak memberikan penjelasan secara eksplisit tentang belajar. Tradisi developmental memberi saran kepada para pendidik agar memperhatikan perkembangan intelektual siswa dalam setiap kegiatan pembelajaran, Sedangkan tradisi information proccessing hanya memberitahukan bahwa kerja otak manusia dalam mengolah informasi mirip dengan kerja sebuah komputer. Dengan demikian, kedua tradisi ini tidak dapat digolongkan pada paradigma yang mana.. Marilah kita coba mencermati tentang belajar IPA dalam kedua paradigma.
1.    Belajar dalam paradigma absolutisme
            Absolutisme berasal dari kata absolute yang artinya mutlak merupakan prinsip yang percaya bahwa segala sesuatu yang ada itu memiliki sifat mutlak dan universal. Dengan ini berarti absolutisme tidak ada tawar menawar, dalam prinsip ini juga tidak bergantung pada adanya kondisi yang membuat prinsip moral dapat berubah..
Dalam paradigma absolutisme, belajar didefinisikan sebagai perubahan tingkah laku yang mencerminkan dari keadaan belum tahu ke keadaan sudah tahu. contoh pada pembelajaanr IPA. Para siswa akan belajar tentang termometer-alat pengukur temperatur.. Misalnya, melihat termometer terletak di atas meja, siswa tersebut acuh saja. Atau, mungkin sebaliknya, siswa terheran-heran, berdesakkan ingin melihat dan memegangi benda itu. Mereka saling berebut seperti layaknya main bola. Setelah itu, mereka mengikuti pembelajaran selama dua kali pertemuan tentang panas, para siswa sudah tidak terheran-heran ketika melihat termometer, tidak berebutan seperti main bola lagi karena mereka tahu termometer mudah pecah. Bahkan ada siswa yang lain mungkin ketika mendangar perkataan orang bahwa hari ini sangat panas, langsung bertanya: ”Berapa derajad, suhu hari ini?” dsb. Hal-hal seperti itu menunjukkan tingkah laku siswa yang telah memiliki pengetahuan tentang termometer. Jadi, setelah proses pembelajaran tentang rmometer, tingkah laku para siswa telah berubah. Dengan pembelajaran, tingkah laku siswa diubah. Bentuk perubahan dan rancangan pembelajarannya disusun oleh para ahli dalam bentuk kurikulum.
            Dalam paradigma absolutisme, kurikulum pendidikan IPA dibuat secara sentralistik (di tingkat pusat). Pada kurikulum 1975 dan 1994, misalnya, Anda akan temukan rumusan-rumusan: tujuan kurikuler, tujuan instruksional, pokok bahasan, sub pokok bahasan, kelas, semester, sumber bahan, dan bahan ajaran. Anda, sebagai guru tinggal menetapkan tujuan khusus dan membuat rencana kegiatan selama di depan kelas serta mengajarkannya dan dilengkapi dengan sumber/bahan yang bernama buku paket.
            Siswa yang belajar tinggal datang ke sekolah, duduk, menyimak, mendengarkan, mencatat, dan mengulang kembali di rumah serta menghapalkannya untuk menghadapi tes hasil belajar atau ulangan. Tes hasil belajar, ulangan, ujian bersifat reproduksi pengetahuan artinya seberapa luas dan dalam bahan/materi yang telah diajarkan dan dikuasai siswa. Sebagian dari Anda, tentu telah mengalami pembelajaran yang seperti ini baik di tingkat sekolah dasar, sekolah lanjutan atau bahkan di tingkat perguruan tinggi.
2.    Belajar Dalam Paradigma kontruktivisme
            Menurut pandangan konstruktivisme belajar adalah penyusunan pengetahuan dari pengalaman konkret, aktivitas kolaboratif dan refleksi serta interpretasi. Dalam paradigma absolutisme, siswa dianggap tidak memiliki pengetahuan apa pun ketika berada di awal proses pembelajaran. Ibarat sebuah botol kosong. Sebaliknya, dalam paradigma konstruktivisme, siswa diakui telah memiliki pengetahuan. Pengetahuan yang dimiliki sebelum mengikuti proses kegiatan pembelajaran yang sesungguhnya sering diberi label pengetahun awal siswa. Pengetahuan awal ini diperolehnya dari sumber-sumber belajar yang tersedia di luar bangku sekolah atau dari pembelajaran sebelumnya. Seperti juga Anda saat ini, Anda telah memiliki pengetahuan pembelajaran IPA. Pengetahuan itu Anda peroleh dari berbagai sumber, termasuk ketika Anda kuliah di program yang lain. Pendek kata, Anda tidak berawal sebagai botol kosong. Anda telah memiliki konsepsi awal tentang pembelajaran IPA.
Contoh, seseorang yang berasal dari keluarga Jawa tinggal di pedalaman Kalimantan sebagai guru SD. Setiap kali berceritera tentang Jawa kepada anaknya, selalu memasukkan topik kereta api yang berjalan di atas rel tidak di jalan raya atau di sungai seperti yang biasa dilihat di Kalimantan. Cerita itu diulang-ulang hingga anak tersebut lulus SD. Tampaknya, ia sangat paham tentang per-keretaapi-an. Setelah pembagian ijasah, si anak diajak pulang ke Jawa menengok kakek-neneknya sambil mencari SMP di sana. Dari Pontianak ke Jakarta naik pesawat terbang. Dari Jakarta ke Yogya naik kereta api, berangkat dari stasiun kereta api Gambir (Jakarta) dan turun di statsiun kereta api Tugu di Yogya. Karena datang lebih awal, maka mereka duduk-duduk di peron..Tempat duduk itu sekitar dua meter dari rel kereta api. Belum banyak orang di sana. Apa yang terjadi ketika ada kereta api lewat di depan si anak pertama kali? Ia lari terbirit-birit ketakutan. Bapak ibunya keheranan. Sebelumnya, mereka sungguh yakin bahwa anaknya telah mengerti dengan tuntas tentang perkereta-apian sesuai dengan yang setiap kali diceritakan kepadanya di Kalimantan. Anak tersebut belum memiliki pengalaman.
3.    Mengajar Dalam Paradigma Absolutisme
            Para ahli menyimpan ilmu pengetahuan yang disusunya dalam suatu ’tanki’ ilmu pengtahuan. Tanki ini berupa buku teks, makalah, aritikel, laporan penelitian dsb. Oleh pendidik dituliskan sebagi buku ajar. Para guru mengolahnya dan menyampaikannya kepada siswa. Guru mengatur seberapa luas dan seberapa dalam pengethuan yang harus diteruskan kepada siswa. Guru sebagai agen alih pengetahuan (Lihat UU Guru dan Dosen). Guru berfungsi sebagai ’pemutar keran’ yang menentukan seberapa banyak air yang dikucurkan. Karena sebagai pemutar keran maka guru tidak ’punya’ hak untuk menetapkan ciri-ciri pengetahuan yang disampaikan. Siswa, sebagai ’ember’ penampung kucuran pengetahuan dari keran, menerima begitu saja semua pengetahuan yang dikucurkan oleh gurunya. Siswa tidak perlu merasakan, mengalami, mencoba, mempraktekkan diri, sebagai seorang pencari kebenaran. Akibat lebih jauh, siswa merasa bosan belajar IPA. IPA menjadi salah satu mata pelajaran yang kurang menarik. Bahkan, untuk sejumlah siswa, IPA merupakan salah satu mata pelajaran yang sukar dipelajari, terutama mata pelajaaran fisika dan kimia.
Pedek kata, mengajar dalam paradigma absolutisme dapat diibaratkan sebagai kegiatan ’mengisi botol kosong’. Cara seperti ini tidak akan membuat siswa sekolah dasar menggemari IPA. IPA tidak bermakna bagi siswa. Padahal, kurikulum 2006 ini megamanatkan bahwa Mata Pelajaran IPA di SD/MI bertujuan agar peserta didik memiliki kemampuan sebagai berikut.
a.    Mengembangkan pengetahuan dan pemahaman konsep-konsep IPA yang bermanfaat dan dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari
b.    Mengembangkan rasa ingin tahu, sikap positip dan kesadaran tentang adanya hubungan yang saling mempengaruhi antara IPA, lingkungan, teknologi dan masyarakat
c.    Mengembangkan keterampilan proses untuk menyelidiki alam sekitar, memecahkan masalah dan membuat keputusan
d.   Meningkatkan kesadaran untuk berperan serta dalam memelihara, menjaga dan melestarikan lingkungan alam


4.    Mengajar dalam paradigma kontruktivisme
            Dalam paradigma kontruktivisme, mengajar adalah menata lingkungan agar sibelajar termotivasi dalam menggali makna serta menghargai ketidakmenentuan. Dengan demikian maka peserta didik akan memiliki pemahaman yang berbeda terhadap pengetahuan tergantung pada pengalamannya,dan perspektif yang dipakai dalam menginterpresiikannya, jadi guru diharapakan dapat mendorong munculnya diskusi dalam rangka memberi kesempatan siswa untuk mengeksplorasi pikiran atau aktivitas dan keterampilan berpikir kritis. Selainn itu guru diharapkan dapat mengkaitkan informasi baru kepengalaman pribadi atau pengetahuan yang telah dimiliki peserta didik.sedangkan belajar dipahami sebagai proses aktif siswa untuk mengkonstruksi pengetahuan dengan cara mebuat ’link’ antara pengetahuan yang telah dimiliki dengan pengetahuan yang sedang dipelajari melalui interaksi dengan yang lain. Pengertian belajar seperti ini, paling tidak mengandung tiga hal. Pertama adalah proses aktif untuk mengkonstruksi pengethuan. Kedua adalah membuat ’link’ antara pengetahuan yang telah dimiliki dengan pengetahuan yang sedang dipelajari. Ketiga adalah interaksi siswa dengan yang lain.

            Walaupun penerapan tradisi konstruktivis itu berbeda-beda, namun ada hal-hal yang sama. Ishii (2003) menyajikan kesimpulan Ernest tentang implikasi pedagogis dari tradisi konstruktivismes.
·      Peka dan perhatian terhadap pengetahuan awal siswa yang dibawa sebelum mengikuti pelajaran formal
·      Penggunaan konflik kognitif untuk meremidi miskonsepsi. Tampak seperti membiarkan siswa mengalami kebingungan dalam berpikir, dan dari sana mereka akan menngembangan pemahamannya sendiri, atau paling tidak mencari jalan ke luar dari kebingungan.
·      Perhatian terhadap ketakognisi dan strtegi self-regulation. Ini merupakan kosekuensi dari mengalami konflik kognitif siswa muali berpikir tentang cara berpikir yang digunakannya, dan menjadi bertanggung jawab atas belajar mereka sendiri.
·      Penggunaan berbagai macam representasi. Berbagai macam representasi mengahasilkan banyak ‘lorong’ menuju pengetahuan awal siswa.
·      Kesadaran bahwa tujuan siswa belajar itu penting. Di kelas bukan tujuan guru tetapi tujuan siswa, mereka ingin mengetahui dan tahu manfaatnya.
·      Kesadaran akan konteks sosial. Berbagai jenis pengetahuan muncul dalam berbagai macam kelompok sosial. Ada pengetahuan para pedagang kaki lima, ada pengetahuan para pejabat, ada pengetahuan formal di sekolah dsb.


BAB III
PENUTUP
A.  KESIMPULAN
            Dalam paradigma absolutisme, belajar didefinisikan sebagai perubahan tingkah laku yang mencerminkan dari keadaan belum tahu ke keadaan sudah tahu. Sedangkan dalam paradigma  konstruktivisme, siswa diakui telah memiliki pengetahuan.
B.  SARAN
            Makalah “paradigma absolutisme vs konturktivisme” telah disusun dengan baik oleh kelompok penyusun. Namun penyusun makalah ini masih jauh dari kata sempurna maka oleh sebab itu di harapkan partisipasi dalam bentuk pertanyaan atau masukan yang bersifat membangun demi kesempurnaan makalah ini.


DAFTAR PUSTAKA

Sutrisno, Leo dkk. Hakekat Pembelajaran IPA